Senin, 26 April 2010
Redemtion Song
Old pirates, yes, they rob I;
Sold I to the merchant ships,
Minutes after they took I
From the bottomless pit.
But my hand was made strong
By the 'and of the Almighty.
We forward in this generation
Triumphantly.
Won't you help to sing
This songs of freedom
'Cause all I ever have:
Redemption songs;
Redemption songs.
Emancipate yourselves from mental slavery;
None but ourselves can free our minds.
Have no fear for atomic energy,
'Cause none of them can stop the time.
How long shall they kill our prophets,
While we stand aside and look? Ooh!
Some say it's just a part of it:
We've got to fullfil the book.
Won't you help to sing
This songs of freedom-
'Cause all I ever have:
Redemption songs;
Redemption songs;
Redemption songs.
---
Emancipate yourselves from mental slavery;
None but ourselves can free our mind.
Wo! Have no fear for atomic energy,
'Cause none of them-a can-a stop-a the time.
How long shall they kill our prophets,
While we stand aside and look?
Yes, some say it's just a part of it:
We've got to fullfil the book.
Won't you have to sing
This songs of freedom? -
'Cause all I ever had:
Redemption songs -
All I ever had:
Redemption songs:
These songs of freedom,
Songs of freedom.
Sambil cari lagu ini, iseng cari2 lagu lama, nemuin " Yang Menangis" punya Edo Kondologit. Merinding gw denger lagu ini, musiknya dari Erwin Gutawa dan penjiwaan Edo yang bikin lagu ini demikian kuat, didukung lirik yang kuat juga.
Beda banget ama lagu-lagu jaman sekarang.
Jumat, 16 April 2010
Teks yang Multitafsir
Sebuah kesalahan yang baru saya sadari adalah, asa dan rasa yang sifatnya personal ini, saya tulis di media yang bisa diakses banyak orang. Sehingga menimbulkan penafsiran-penafsiran yang beragam dari pembacanya.
Akhirnya saya paham juga, bahwa blog tak akan dapat menggantikan sebuah diary. Sifat sebuah blog yang bebas dan bisa dibaca semua orang membuatnya tidak bisa menampung hal-hal yang sifatnya personal, karena bisa jadi ada pembaca lain yang menafsirkannya secara berbeda.
Jadi tak semua hal akan saya bagi disini....
Kamis, 08 April 2010
inspirator
Zainal Abidin, Entrepreneur, Penulis Buku, Rektor Institut Kemandirian
Mantan Sopir Truk yang Maju Karena Selalu Mencari Tantangan Baru
Tak pernah mau terjebak di zona nyaman yang dianggapnya sebagai penjara mental untuk berkembang, membuat Zainal Abidin terus mencari tantangan baru.
Pernah mencapai jabatan tinggi sebagai karyawan, Zainal Abidin yang akrab dipanggil Jay, justru banting stir menjadi entrepreneur. Beberapa kali gagal dalam usaha tak membuatnya putus asa hingga akhirnya menuai kesuksesan. Jay kemudian terjun ke dunia pendidikan dan sosial, dengan aktif melakukan kegiatan pelatihan wirausaha. Kini dengan segala yang telah dicapainya Jay mulai kembali gelisah mencari tantangan baru.
Ditemui di Institut Kemandirian yang berada di salah satu gedung di komplek Panasonic Manufacturing, Jakarta Timur, Jay saat ini menjabat sebagai Rektor Institut Kemandirian. Institusi tersebut adalah sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pelatihan ketrampilan dan kewirausahaan. “Di sini konsepnya seperti Balai Latihan Kerja yang mengajarkan ketrampilan, tapi dari awal mindsetnya juga diarahkan untuk jadi wirausaha tidak hanya punya ketrampilan untuk kerja,” ungkap Jay. Tempat pelatihan ketrampilan dan usaha ini ditujukan untuk para pengangguran yang tidak mampu, karena itu tidak dipungut biaya.
Jay dilahirkan di
Jay juga berhasil lulus kuliah dengan empat predikat sekaligus, lulus tercepat, lulus termuda, dengan Indeks Prestasi tertinggi dan terpopuler.
Selepas kuliah, Jay yang tak ingin mengganggur sempat nyambi kerja menjadi sopir truk pasir, hingga akhirnya ikut kursus jointing kabel telepon di PT Telkom. Jay lalu bekerja menjadi juru sambung kabel telepon, di sebuah perusahaan rekanan PT Telkom.
Berani menerima tantangan adalah salah satu karakter yang ada pada diri Jay. Meski tak punya pengalaman tentang teknologi lampu lalu lintas berbasis komputer, ia langsung menangani instalasi sistem lampu lalu lintas (Area Traffic Control System) di DKI
Ketika posisinya sudah berada di jajaran atas, Jay justru memilih keluar. “ Karena saya merasa sudah tidak mungkin naik lebih tinggi lagi di perusahaan. Kalau hidup sudah tidak ada tantangan lagi, tidak ada lagi yang ingin dicapai berarti tinggal menunggu turun,” ungkap Jay. Jay pun membuka beberapa usaha. “Waktu saya mulai usaha, saya punya modal yang cukup besar sehingga bisa membuka beberapa jenis usaha sekaligus,” ungkapnya. Jay pernah memiliki tempat cuci cetak foto, pernah punya bengkel sepeda motor AHASS dan beberapa usaha lain. Namun karena tidak fokus akhirnya usahanya terbengkalai. Sampai akhirnya Jay memperoleh beasiswa untuk belajar d
Sepulang dari
Beberapa judul bukunya ia terbitkan sendiri lewat bendera Britz Trans Zona yang ia dirikan. Britz Trans Zona bergerak di bidang konsultan, event organizer, investasi dan penerbitan. “ Untuk penerbitan sementara khusus menerbitkan buku-buku saya sendiri, di luar yang diterbitkan penerbit lain,” ujarnya. Selain itu Jay juga punya usaha molding yang mencetak mesin-mesin industri dan punya saham Bakmi Tebet di Mekkah dan Anyer. “ Yang di Mekah hanya buka saat awal Ramadhan hingga akhir Ramadhan,” ujarnya.
Aktifitas Jay yang lain adalah sebagai salah satu pembina pada Komunitas Tangan Di atas, rutin mengasuh acara motivasi, power of life di radio Trijaya FM dan beberapa radio lain serta sesekali mengisi acara Titian Qalbu, sebuah acara rohani di TVOne, yang ditayangkan pada jam 03.30 - 04.30 WIB. Jay juga diberimandat oleh Dompet Dhuafa untuk memimpin Institut Kemandirian. Kini dengan segala yang telah dicapainya, Jay mengaku mulai merasa harus mencari tantangan baru agar bisa terus berkembang. Ali
Rabu, 31 Maret 2010
Pemimpin Hebat
Pagi Ini saya buka FB, dan melihat status dari Bang Pea, tentang seorang wartawan senior yang pernah jadi pimpinannya dulu Bob Hutabarat yang telah meninggal dunia. Saya tidak pernah mengenal langsung sosok Bob Hutabarat karena beda jauh generasinya. Namun membaca coment-coment dari rekan-rekan dan mantan anak buahnya di FB, saya membayangkan beliau adalah sosok pemimpin hebat yang begitu dihormati, oleh anak buahnya. Bisakah saya menjadi seperti itu, meski dalam lingkup yang lebih kecil?
Said Surung Hutapea Hari ini, Rabu (31/3) Bob Hutabarat, mantan wartawan Kompas dan mantan Pemred Sriwijaya Post dimakamkan di Jaksel. Bagi para sahabat kita mendapat pelajaran berharga dari perjalanan hidupnya: Bahwa hari-hari yang baik memberikan kebahagiaan; hari-hari yang kurang baik memberikan pengalaman; kedua-duanya memberikan arti dan pelajaran berharga bagi kita yang ditinggalkannya. Selamat jalan Bang Bob...Inspirator
Juragan Properti yang Pernah Jadi Tukang Ngepel Lantai
Joe Hartanto adalah seorang entrepreneur dan investor properti yang mengawali semua usahanya dari nol. Setelah berkali-kali jatuh bangun dalam hidupnya, saat ini ia telah berhasil memiliki portofolio investasi properti yang menghasilkan passive income dan berbagai divisi usaha yang menguntungkan, dari retail, pendidikan, hingga apotek. Bagaimana kisah perjuangan Joe Hartanto, untuk bisa kembali bangkit dari kehancuran.
Joe terlahir dari keluarga sederhana. “Saya dulu saat masih sekolah sering malu ketika ditanya apa pekerjaan orang tua saya, karena ayah saya adalah pedagang dan pelatih anjing,” ungkap Joe. Sejak kecil Joe juga dididik untuk tidak bergantung pada orang tua dan selalu mendapatkan sesuatu lewat usaha. Joe menceritakan masa kecilnya di Bandung, ia sering kali pagi-pagi harus naik sepeda sejauh 5 km dari rumahnya ke tempat pemilik anjing untuk menjemput anjing yang akan dilatih.
Meski bukan dari keluarga kaya, orang tua Joe berharap Joe sebagai anak pertama bisa memperoleh gelar pendidikan yang tinggi. Joe sendiri mengaku bukan orang yang punya kemampuan istimewa secara akademik, ia bahkan mengatakan bahwa ia kuliah hanya untuk menyenangkan orang tuanya.
Lulus kuliah, Joe sempat bekerja di beberapa perusahaan. Awalnya pindah-pindah karena tidak puas, terakhir ia mendapatkan pekerjaan yang cukup bagus, menjadi kepala cabang sebuah perusahaan trading yang memberi gaji dan fasilitas yang cukup baik untuk ukuran saat itu. Istrinya yang bekerja pada sebuah pengembang apartemen, mendapat fasilitas untuk menempati unit apartemen yang belum terjual. Tapi karena itu hanya fasilitas yang diberikan kantor dan bukan milik sendiri, ia sadar itu tidak akan ia miliki selamanya. Karena itu, Joe juga mulai merintis usaha-usaha sampingan dan cukup berhasil.
Namun Joe akhirnya harus kehilangan segala hal yang bisa dinikmatinya saat itu, ia mengalami kebangkrutan yang mendadak. Joe mengaku karena keserakahannya dalam berbisnis, ditambah minimnya pengalaman, semua yang dimilikinya hancur dalam waktu cepat akibat tertipu rekan bisnisnya. Kejatuhan yang mendadak itu membuat Joe merasa sangat depresi, paranoid bahkan sempat terlintas keinginan untuk mengakhiri hidup.
Namun Joe memiliki istri yang selalu setia mendampingi dan ada teman-teman baru yang mau membantu. “Tapi karena istri saya selalu mendampingi saya yang depresi, akhirnya dia sendiri tidak bekerja dan kita tidak berpenghasilan,” kenangnya. Masa-masa sulit itu Joe mengaku sering berhari-hari hanya makan mi instan.
Motivasi Joe mulai tumbuh lagi ketika membaca buku-buku karya Robert Kiyosaki, seperti Rich Dad Poor Dad dan Cash Flow Quadrant, Berpikir dan Berjiwa Besar karya David Scwartz, Creating Wealth karya Robert G. Allen. Saat itu, tahun 1999 buku-buku Robert Kiyosaki belum beredar di Indonesia. Joe mendapatkan buku-buku tersebut dari seorang temannya yang membelikannya sewaktu pergi ke Australia.
Joe pun kembali merintis bisnis-bisnis baru mulai dari jual beli mobil, kerajinan tangan, MLM, jadi pemborong taman dan sebagainya. Tahun 2000, Joe bisa membeli rumah di daerah Serpong, istrinya melahirkan putri mereka, dan ia pun mulai mendirikan bisnis baru bersama beberapa temannya. Namun bisnis tersebut akhirnya juga terhenti di tengah jalan.
Kebangkrutan kedua disikapi Joe secara lebih positif. saat itu Joe memutuskan untuk pergi ke Amerika meninggalkan anak dan istrinya, untuk bekerja sekaligus mencari wawasan. “Waktu itu saya berpikir saya harus bekerja dulu lagi untuk cari modal,” ungkap lelaki kelahiran 1970 ini. Joe ke Amerika dengan harapan memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi
Dengan ongkos pinjaman dari mertua, dan visa turis, Joe nekat bekerja di Amerika. Di negeri Paman Sam, Joe menggeluti tiga pekerjaan sekaligus. “Saya kerja fisik sehari 16-18 jam,” kenangnya. Joe bekerja di minimarket 7 Eleven sebagai pelayan toko, dari pukul 23.00–08.00 pagi. Joe sengaja memilih shift malam karena bayarannya lebih tinggi dan bisa bekerja di tempat lain pada siang harinya.
Dari pukul 09.00-15.00 sore, Joe bekerja di deli (semacam kafe) di sana ia bertugas mengepel lantai, membuang sampah, membuat sandwich hingga mengantar pesanan makanan dengan berjalan kaki di kawasan sekitar tempatnya bekerja. “Saya paling suka jadi deliveryman karena sering dapat uang tip,” ujarnya.
Deli tempatnya bekerja tutup setiap Sabtu-Minggu, jadi tiap Sabtu, selepas pulang dari 7 Eleven, Joe bisa bekerja membersihkan lorong apartemen yang katanya honornya lumayan. Joe hanya libur pada hari minggu dan itu ia pergunakan untuk mengurus keperluan hidupnya sendiri. “Tiap minggu saya ke laundry lalu belanja kebutuhan makanan dan keperluan pribadi lainnya dan sedikit beristirahat. Joe menjalani kehidupan seperti itu selama 730 hari.
Setelah kurang lebih dua tahun di Amerika, tahun 2003 Joe pulang ke Indonesia, dengan tekad yang sama ingin kembali memulai bisnis baru dengan bekal hasil kerjanya selama dua tahun di Amerika. Joe yang pernah dua kali bangkrut menjadi lebih cermat memilih bisnis, ia juga menjadi lebih sering belajar membaca buku dan mengikuti berbagai seminar. Joe mengaku tidak takut gagal, karena situasi terburuk sudah pernah ia rasakan, tapi juga tak ingin kembali gagal.
Joe lalu bertemu dengan Purwacaraka, lewat pembicaraan yang cukup lama, akhirnya Joe mendirikan cabang sekolah musik Purwacaraka. Saat itu pula Joe mulai tertarik pada investasi properti karena modal mendirikan sekolah musik, bukan berasal dari tabungan kerjanya selama di Amerika tapi justru didapat dari menjaminkan rumah tinggal yang dibeli pada tahun 2000 di Serpong. “Dulu belinya 140 juta, namun dengan jaminan rumah itu saya bisa dapat pinjaman modal usaha senilai 300 juta,” ujarnya. Dari situ Joe mulai tertarik pada investasi di bidang properti.
Joe kemudian mengambil franchise retail minimarket, dan terus berburu properti untuk investasi. Dari buku-buku mengenai investasi properti dan melihat kondisi sebenarnya di Indonesia, Joe mulai menemukan cara berinvestasi properti tanpa modal sendiri, dan bisa menghasilkan passive income. Cara tersebut kemudian ia ajarkan ke beberapa orang. ketika beberapa orang yang diajari cukup berhasil menggunakan cara itu, Joe mulai percaya diri membuat workshop dan menulis buku, berjudul Property Cash Machine, yang cukup laris di pasaran.
Salah satu kelebihan Joe Hartanto adalah kemampuannya bertahan di tengah situasi sulit dan kemauannya untuk belajar. Kini setelah banyak hal dicapainya Joe mengaku masih terus belajar karena banyak juga yang masih ingin diraihnya. “Lakukan lebih dari yang diharapkan,” ungkap Joe, itulah salah satu kunci untuk bisa sukses baik itu di dunia kerja maupun di dunia usaha. Ali
Selasa, 23 Maret 2010
Memaksakan Gaya Hidup
Seorang teman pernah menceritakan, ada nara sumbernya, “juragan kecil” di bidang usaha makanan tradisonal yang dikembangkan secara waralaba, sudah bawa Blackbery di tangannya.
Dengan nada bercanda, teman saya bertanya “ Wah, sudah pegang Blackbery sekarang nih, sudah sukses dong”. Ia menjawabnya, “ Iya nih ada yang nawarin, tapi saya nggak suka pakai ini sms nya nggak bunyi, saya nggak tau gimana ngesetnya,” ungkapnya polos. Jadi boro-boro menggunakan berbagai fasilitas yang ada di dalamnya.
Kebetulan orang tesebut juga pernah saya temui. Orangnya sederhana karena latar belakangnya juga sederhana, dengan tingkat pendidikan yang juga rendah, namun ia bisa lumayan berhasil karena berani dalam usaha. Tutur katanya juga tetap sederhana, tidak sok jadi lebih tinggi. Namun mungkin karena tak kuasa untuk tidak mengikuti gaya hidup, ada yang nawarin, melihat kenalan-kenalannya banyak pakai, ditambahi kipas-kipas dari anaknya, akhirnya ia membeli barang yang tidak bisa ia manfaatkan secara maksimal.
Hal yang serupa juga dilakukan teman-teman di lingkungan saya, namun di lakukan dengan sadar. “ Ini buat gaya aja, kalau pulang kampung kan jadi keliatan keren bawa BB,” ungkapnya. “ Di kampung banyak yang pakai hp model kayak gini, tapi jarang yang pakai Blackbery beneran,” tambahnya.
Lama fasilitas di BB nya tidak pernah digunakan, akhirnya dia ganti sim card karena ada operator yang menawarkan tariff murah untuk BB. Setelah diaktifkan, dia sering ngeledekin dengan tanya “ Pin mu berapa li ?,”. Lingkup pergaulannya memang banyak berhubungan dengan model-model, yang meskipun kelasnya masih menengah-bawah, Kebanyakan punya Blackbery.
Satu hari, dia pergi ke Bandung bawa motor barunya boncengan dengan satu orang teman lain, beberapa hari nginep di hotel dibandung cuma buat refreshing katanya. Pulangnya dengan bangga tapi sambil bercanda ia bercerita, bagaimana enaknya selama disana, dan nggak ketinggalan cerita soal BB nya yang bisa pake GPS jadi nggak gampang nyasar.
Tiba-tiba suatu sore dia berkata “ Djancuk.. BB ku ke Format, datane ilang semua, aku ga nyimpen no arek-arek..,” katanya seambil ketawa-tawa.
Langsung saja aku timpali, “ Gaya doang sih, nggak ngerti teknologi sok-sok an pake BB”. “ Iya ga tau kenapa aku yes-yes aja taunya keformat semua datanya ilang, djancuk…djancuk..” ungkapnya.
Beberapa hari kemudian, dua-duanya sakit…ngreges karena kecapean katanya.
Sambil menertawakan diri sendiri ia berkata “ Kita ini sebenarnya kemampuannya belum sampai, tapi kita paksakan ikuti gaya hidup, akhinya nggreges…meriang”.
Hidup di Kontrakan Gaya Hidup Apartement
Bukannya ingin menyombong atau apa, status tersebut sebenarnya adalah ungkapan yang ingin menrtawakan sendiri kegiatan kami di kontrakan. Saat itu ada 4 orang di kontrakan, dua di depan pc, dua lagi sibuk dengan laptopnya. Kesannya kita sedang mengerjakan sesuatu yang penting sehingga semua sibuk. Padahal tidak, saya Cuma buka-buka internet iseng, Pentung lagi sibuk ngak sukses-sukses instalin laptop baru punya pakde nya, Anto Cuma nonton download an video suara-suara burung yang di download dari kantor, mungkin Cuma si Andi yang online untuk gaul dengan teman jauhnya sekalian cari bahan untuk proposal.
Pokoke Gaya Pol.. Sok Sibuk, On line terus padahal seringkali On line masuk pakai account orang, jadi gratisan. Pengen apapun cari di internet, beli apapun cari yang bisa online.., kita jadi seperti hidup di apartemen kan, padahal Cuma di kontrakan pak haji yang sebulan bayar 350 ribu, itupun patungan bertiga.